Memenangi lomba di sekolahnya, Ali malah merasa kalah. Sebab dengan menjadi juara pertama, dan bukan juara kedua, ia gagal mendapat hadiah sepatu baru. Dan itu artinya ia gagal mengganti sepatu adiknya yang dia hilangkan.
Syahdan, Ali (Amir Farrokh Hashemian), bocah laki-laki berusia 9 tahun, diminta ibunya untuk memperbaiki sepasang sepatu adik perempuannya, Zahra (Bahare Seddiqi) ke tukang sol sepatu di pasar. Nah, ketika di pasar, Ali meletakkan tas kresek berisi sepatu Zahra di depan kios. Malangnya, seorang pemulung buta mencomotnya dan membawanya pergi.
Akibatnya, Ali dan Zahra harus bergantian memakai sepatu Ali untuk ke sekolah. Pagi harinya Zahra memakainya, kemudian pulangnya ia harus berlari secepatnya agar Ali bisa memakai sepatu yang sama ke sekolah.
Pertukaran itu mereka lakukan di gang sempit pinggir got dekat rumah. Pernah lantaran sangat terburu-buru, salah satu sepatu tercebur ke got. Alipun ke sekolah dengan sepatu berbau busuk. Ini melengkapi kesedihannya yang sering terlambat ke sekolah.
Kesempatan itu akhirnya datang. Sekolah mengadakan lomba lari, yang salah satu hadiahnya adalah sepatu baru.
Ali mengikuti lomba lari itu. Ambisinya, menjadi juara kedua. Lho, kok bukan juara satu?
Ya, karena juara kedua berhadiah sepatu baru, yang sangat dibutuhkan adiknya.
Sayang, Ali yang selama berpekan-pekan terpaksa pergi ke sekolah dengan lari kencang, ‘’telanjur’’ jadi juara satu. Ia sedih, hingga takdir menghiburnya dengan rejeki yang tak disangka-sangka. Ali dan Zahra pun bahagia.
Itulah kisah dalam film lama Children of Heaven, yang disutradarai Majid Majidi dan pernah masuk nominasi Oscar 1999 untuk kategori film asing terbaik. CoH juga meraih penghargaan pada Montreal World Film Festival, Newport International Film Festival, dan Singapore International Film Festival.
Salah satu hikmah dari film tersebut adalah, hidup tidak selamanya harus jadi nomor satu. Kadang, atau malah seringkali, kita lebih baik menjadi nomor dua. Seperti posisi yang diincar si Ali tadi. Bocah ini seakan menegaskan kalimat bijak yang menyatakan: ‘’Arah lebih penting ketimbang kecepatan’’.
Kalaupun harus menjadi nomor dua, berusahalah jadi yang terbaik di posisi itu. Harvey MacKay, konsultan bisnis dan pengarang buku laris How To Swim With The Sharks Without Being Eaten Alive, mengatakan, ”Bila Anda tidak bisa menjadi nomor satu, maka pastikan Anda menjadi yang terbaik kedua.”
Dengan berprestasi maksimal di nomor dua, maka menjadi nomor satu hanya soal waktu dan takdir. Sebab, kata MacKay, tidak ada yang bertahan selamanya. Suatu saat bila pelanggan memutuskan untuk mengganti pilihan mereka, maka Anda dapat menjadi pilihan mereka yang berikutnya dan akan secepatnya menempati posisi pertama.
Alfred Adler (1870-1937), psikolog humanistik asal Wina, justru menyarankan agar kita terus menerus mempertahankan ‘’semangat orang nomor dua’’. Sedangkan falsafah Rusia justru menyatakan: ‘’Juara itu hanya yang nomor satu, tidak ada juara dua, apalagi juara tiga.’’
Nah, dengan pengalaman sebagai anak nomor dua dari tujuh bersaudara, Adler menyimpulkan teorinya itu.
Menurut Adler dalam bukunya Understanding Human Nature (1992), anak kedua selalu berusaha memacu dirinya untuk bisa menyamai pesaingnya. ‘’Anak kedua, atau orang peringkat kedua, selalu seperti berada dalam pacuan. Jika ada yang di depannya, dia akan selalu berusaha mengalahkannya,’’ tutur Adler.
Ia menambahkan, anak kedua dalam keluarga berjuang keras untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang serta berbagai sumber daya lainnya dari orangtua. Anak kedua berada dalam posisi yang sangat berbeda dibandingkan dengan anak pertama. Sejak lahir dia harus berbagi perhatian dari orang tua dengan kakaknya. Anak kedua selalu melihat bahwa di depannya ada anak lain yang lebih dari dirinya baik dalam hal usia maupun proses perkembangan.
Kompetisi dengan anak pertama dipacu oleh anak kedua. Stimulasi anak kedua sering lebih cepat berkembang daripada yang diperlihatkan anak pertama.
Anak kedua didorong untuk mengejar dan mengungguli saudara yang lebih tua, biasanya dalam kecepatan bahasa dan perkembangan motor.
Tanpa pengalaman kekuatan, anak kedua praktis tidak memiliki kekhawatiran sebagaimana anak pertama dan lebih optimistis dalam memandang masa depan. Anak kedua kemungkinan menjadi sangat kompetitif dan ambisius.
Didorong oleh kebutuhan untuk mengungguli saudara yang lebih tua, anak yang belakangan lahir sering berkembang hingga pada tingkat kesungguhan. Hasilnya, mereka sering berprestasi tinggi dalam pekerjaan apapun yang mereka kerjakan.
Maka, ketika sudah merasa tidak mungkin menyaingi Abu Bakar, Umar bin Khattab berusaha menjadi nomor dua yang sebaik-baiknya. Persaingan dua sahabat ini adalah dalam menjalankan amanat Allah SWT dalam Al Qur’an: “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan” (Al Baqarah 148).
Mengenai keunggulan Abu Bakar ra, sebuah hadits mengabarkan bahwa Rasulullah suatu hari bertanya kepada para sahabatnya: “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab:“Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah di antara kalian yang hari ini mengantar janazah?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda : “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga” (HR Muslim no 1028).
Suatu hari, Rasulullah SAW menyerukan infak fisabilillah. Umar bin Khattab menyambutnya dengan antusias. ‘’Hari ini saya pasti melampaui Abu Bakar ra,’’ katanya dalam hati, sambil membawa infak sebanyak setengah dari seluruh harta yang dimilikinya.
Setelah menerima infak Umar, Rasulullah SAW bertanya, ‘‘Apa yang engkau sisakan buat keluargamu?’’ Jawab Umar, ‘‘Saya telah menyisakan buat mereka semisal harta itu.’’
Tiba-tiba datang Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Ketika Rasul bertanya dengan pertanyaan yang sama, Abu Bakar menjawab tegas, ‘’Saya telah menyisakan Allah dan Rasul-Nya buat mereka.’’
Maka akhirnya Umar berkata, “Aku mengetahui bahwa sekali-kali aku tidak dapat melebihi Abu Bakar” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Darimi, Hakim dan Baihaqi dari Umar ra). [nurbowo: Ayat-ayat Pengorbanan, PPPA Daqu 2013]
0 comments:
Posting Komentar